Anakku Dipotret Malaikat
Bangsa
Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah, beraneka ragam budaya dan
bahasa. Untuk menjaga dan melestarikannya kita perlu generasi penerus bangsa.
Penerus bangsa yang sudah tertanamkan akhlak dan moral yang baik. Namun
sekarang, penanaman nilai-nilai akhlak dan moral sudah tidak dianggap penting
oleh beberapa kalangan masyarakat karena teknologi semakin maju. Bahkan orang
tua yang seharusnya memberikan pendidikan dan kasih sayang, malah mengajarkan
anak untuk melakukan perbuatan tidak terpuji. Hal ini terbukti dengan banyaknya
anak-anak dijalanan.
Kehadirannya
sungguh tidak ada yang menginginkan, hidupnya berada pada topangan jalanan,
mimpiya tak terlihat karena ditutupi oleh kesombongan dan ketamakan, matinya
pun hanya untuk melawan kerasnya kehidupan.
Kisahnya
diawali sebelum ia lahir, yaitu seorang wanita bernama Asih yang terus berjalan
membawa beban berat yang dikandungnya selama sembilan bulan, di malam hari
dengan wajah yang terus tersapu oleh derusan air hujan. Jabang bayi itu terus
mendesaknya untuk membelah gerbang dunia fana. Jalannya terhenti tepat di depan
sebuah rumah kosong. Kemudian ia memasuki rumah kosong yang tidak ada
penghuninya itu. Setelah masuk, dia dikejutkan oleh sesosok wanita misterius
yang ada disitu. Rintihan pedih yang dirasakannya saat bertarung megeluarkan
aib dalam rahimnya. Suara wanita tertawa di kegelapan malam tidak lagi
menakutkannya karena yang paling ia takutkan sekarang adalah hidup. Hanya saja
ia keinginan untuk mati tertunda, sebelum anak di dalam kandungannya keluar.
Ketika bayi itu keluar dan menangis, tanpa melihat muka bayinya ia langsung
mendekap mulut bayi itu. Lalu, ia menemukan daun untuk membungkus anaknya yang
masih berlumuran darah. Tidak ada rasa kasih sayang, hanya perasaan dendam yang
meliputi asih pada sang bayi, ia melemparkannya ke dalam tong sampah. Perasaan
lega menyeruak ke dalam hati Asih ketika ia berjalan menjauhi rumah kosong itu.
Asih bukan bercerita tentang seorang naluri ibu tetapi dendam yang ia simpan
kepada lelaki durjana yang membuatnya seperti itu.
Tapi apalah daya hidup pun tak lagi dibutuhkannya. Ingin
rasanya untuk kembali kekeluarganya kala
ia teringat bapak, ibu dan saudara-saudaranya. Sejak saat itu asih
menggelandang di Jakarta, hidup dari menengadahkan tangan pada siapa saja yang
menaruh iba kepadanya. Tak lama, dia hanya ingin mengabiskan sembilan bulan
saja. Berjalan tanpa arah dan tujuan dan dihari berikutnya riwayat hidup Asih
ditutup dengan ditemukannya seorang wanita yang terjun dari lantai tiga ITC Mall
Mangga Dua.
***
Ketika
sinar matahari mulai menapaki langit Supriono terbangun dari tidurnya, seorang
pemulung yang memiliki anak gadis yang kerap disapa Denok. Istrinya sudah
meninggalkan mereka. Pada suati hari mereka berjalan statis dengan grobak usang
yang selalu ia bawa kesana kemari. Disudut gerobak itu dijadikan tempat untuk
denok beristirahat ketika kelelahan berjalan, dan yang tempat lainnya dijadikan
sebagai tumpukan sampah yang mereka ambil setiap hari setiap waktu untuk
bertahan hidup. Ketika menyisiri jalan untuk mencari barang barang bekas, saat
denok mengais ngais sampah, betapa terkejutnya ia ketika di tumpukan sampah itu
ada bungkusan dari daun yang digerumuti oleh lalat. Alhasil ketika ia membuka
bungkusan itu ia mendapatkan seorang bayi mungil yang berlumuran darah yang
tidak ada mengetahui nasibnya.
Spontan
denok langsung memberitahu ayahnya dengan apa yang ditemukannya. Supriono
terkejut dan langsung melihat sekeliling, lalu ia tidak membolehkan denok untuk
membawa apalagi merawat bayi tersebut. Namun dengan bujukan anaknya akhirnya
luluh lah hati Supriono dan memperbolehkan denok untuk mengasuh sang bayi.
Setelah memandikan dan membersihkan bayi mungil itu, denok bertanya tanya nama
apa yang cocok untuk disematkan kepada bayi ini. Dengan kesepakatan sang ayah
akhirnya denok menemukan nama yang sekiranya pas disandingkan, nama itu adalah
“Nasib”. Kini kesendirian yang dilalui denok terisi oleh kehadiran nasib.
Hari
demi hari mereka terus berjalan dan selalu menyambut apa saja yang akan terjadi
kepada mereka. Kehidupan yang mereka jalani tidak berubah, tetap menjadi
pemulung, mencari sampah yang dapat dijadikan pundi-pundi rupiah untuk dapat
mengisi perut yang lapar dan menambah kekuatan untuk terus berjalan demi hari
ke hari. Betapa kasihannya melihat orang yang memakan nasi bekas, bahkan sudah
kotor terkena pasir dan tanah. Jauh dari kata sehat, yang terfikirkan hanyalah
bagaimana cara untuk mengisi kekosongan perut dan mengisi tenaga.
Selama
4 tahun denok dan ayahnya merawat dan mengasuh nasib. Makanan denok yang
seharusnya untuk dia seorang, sekarang dibagi dua dengan nasib. Walaupun begitu
denok tetap bahagia, ada teman bermain baginya. Begitu pula supriono yang
tersenyum haru melihat anaknya bahagia meskipun dengan keadaan seperti itu. Berjalan
dengan menopang beban gerobak yang lebih berat dari sebelumnya, hujan pun turun
dan mereka berteduh di halaman sebuah rumah makan. Kini pun hari mulai senja,
malam ini mereka tidur dan menginap didepan rumah makan itu. Sungguh kedamaian
yang mereka rasakan seakan hilang, namun kedamaian itu berhak memihak kepada
siapa pun. Karena tak ada yang menjamin nyaman dan nyenyak nya tidur di sebuah
hotel berbintang.
Matahari
mulai terbit, si pemilik rumah makan terasa terusik kala kehadiran mereka yang
bau dan menyengat. Supriono yang terbuai oleh mimpi indah menjadi sasaran
sebuah ember berisikan air. Belum siap supriono mengerti dengan apa yang
terjadi, satu ember lagi diguyurkan kedalam gerobak. Kepala kedua bocah kecil
itu menyembul dari sela-sela terpal usang yang koyak terkena terjangan air yang
cukup kuat. Tubuh mereka menggigil tatkala matahari belum naik begitu tinggi,
tetapi bentakan dan cacian dari lelaki tambun pemilik rumah itu seakan sebagai
pedang yang menusuk tubuh mereka hingga tembus belakang. Supriono masih
termangu sambil memeras sarung yang masih basah kuyup. Sedangkan denok dan
nasib berpelukan untuk menghangatkan diri satu sama lain.
Tanpa
memikirkan cacian berikutnya, supriono langsung menarik gerbobaknya menjauh
dari si pemilik rumah makan itu. Kedua bocah kecil yang ada didalam gerobak,
terombang-ambing dan terkadang terantuk oleh lantai gerobak. Setelah terasa
jauh, supriono berhenti dan berjalan sembari melihat anaknya yang ada didalam
gerobak. Didalam gerobak, denok mengambil baju bekas hasil memulung dan
menggantikan baju nasib yang juga basah.
Nasib
terus memandang kakaknya itu, dia merasa heran, belum pernah ia melihat wajah
kakaknya yang pucat dan lesu. Biasanya ia melihat wajah denok dengan
kegembiraan. Nasib curiga dengan kakaknya, kecurigaan tersebut juga dirasakan
oleh supriono. Dia melihat dan mencek
badan denok, supriono panik kiranya denok demam dan muntaber. Supriono
mencari tempat penyembuhan yang bagus untuk anaknya. Ingatan supriono tertuju
ke apotek yang buka 24 jam. Setibanya di apotek, supriono membeli obat untuk
demam denok, namun uang yang ia miliki tak cukup untuk menebus obat yang
direkomendasikan si apoteker. Tak lama setelah itu, apoteker menawarkan obat
demam yang seharga dengan uang yang dimiliki supriono. Alhasil supriono
langsung meminumkan obat tersebut kepada denok, supriono berharap anaknya itu
sembuh. Namun nasib hanya dapat melihat raksi ayahnya terhadap denok dan tidak
dapat meresapi apa yang terjadi.
Terang
fajar perlahan sudah menampakkan diri ke dunia yang fana. Denok terus berjuang
melawan suhu badan yang tak kunjung turun. Supriono juga bersusah payah mencari
tempat biasanya ia menjual hasil mulungnya. Sesampainya disuatu tempat, seorang
lelaki langsung menimbang hasil yang didapatkan supriono untuk pagi itu,
sembari setelah itu sang juragan pun memberikan uang yang setara dengan
barang-barang yang dibawakan kepadanya. Namun uang yang diberikan tersebut,
tidaklah cukup untuk dibelikan 3 bungkus nasi. Tapi apalah daya, supriono hanya
membeli 2 bungkus nasi untuk denok dan nasib. Anak mana yang tega melihat
ayahnya hanya dapat menelan air liur ketika ia makan dengan lahapnya, lalu
denok memberikan lebih nasi yang sengaja tak ia habiskan supaya ayahnya dapat
juga mengisi perut, sontak supriono langsung menyantap makanan tersebut.
Setelah terasa tenaganya mulai terisi, supriono langsung bergerak untuk kembali
mencari apa saja yang dapat ia uangkan dari tong sampah.
Keluarga
kecil tak lengkap itu terus berjalan menapaki waktu. Hari berganti hari dan
bulan merangkai tahun. Kemiskinan tetap menjadi sahabat setia. Malam
kedinginan, siang terpanggang matahari, dan ketika hujan tiba, mereka sibuk
mencari naungan dari gempuran hujan. Supriono menghentikan ayunan langkah dan
menyingkapkan terpal tertutup gerobak. Ditatapnya mata denok yang sayu menahan
perih. Supriono bergumam didalam hatinya “apa yang dapat kulakukan untuk
menyelamatkan kalian?” kini dia benar-benar berharap tubuh denok dapat
mengalahkan penyakit yang menyerangnya. Denok yang semakin lemah dan tak mampu
membuka mata, tebujur lemas tak dapat menggerakkan kaki dan tangannya, betapa
sedih hati supriono melihat keadaan putri kesayangannya itu. Tengah supriono
melamun, suara denok yang terdengar lirih berbisik kepadanya menyampaikan
beberapa kata-kata terakhir. Perlahan-lahan suara denok melemah dan menghilang
lalu tangannya jatuh terkulai. Sukmanya dipanggil kepangkuan Sang Maha Perkasa.
Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un...
supriono sesenggukan dan semakin mengencangkan pelukannya dengan tetesan
air mata pilu. Saat itu nasib tidak mengerti apa yang terjadi dengan kakaknya,
dia mengira bahwa kakaknya itu tidur.
Supriono
membawa anaknya ke TPU terdekat, setelah sampai disana dia menghampiri petugas
TPU disitu. Lalu menanyakan berbagai hal untuk pemakaman, melihat persyaratan
dan memerlukan biaya, supriono tak bisa berbuat apa apa. Jenazah denok anaknya
dibawa menjauh dari TPU. Si Nasib hanya mengikuti dan merekam setiap kejadian
yang dilihatnya. Supriono teringat saudaranya yang ada dikampung, yang dapat
menolongnya. Dia lalu membawa mayat anaknya dengan membungkus kain yang ada
didalam gerobak. Ketika dalam perjalanan, ada seorang lelaki yang mencurigai
barang bawaan supriono di pundaknya, tiba-tiba saja kaki jenazah denok
menyembul dari bungksan kain, sontak lelaki itu berteriak mengatakan supriono
pembunuh. Orang-orang disekeliling berhamburan mendekati suara teriakan dan
supriono pun dilaporkan ke polisi atas tuduhan pembunuhan yang menyerangnya.
Selang kejadian itu, nasib pun tak tau kemana rimbanya, hilang dikeramaian dan
tak terendus oleh supriono.
Sejak
kejadian itu supriono dan nasib terpisah, sementara supriono mendekam di jeruji
besi dan jenazah denok pun sudah dikebumikan. Kali ini hanya kehidupan nasib
yang terus berlanjut, dan berjalan tanpa tujuan. Hari berganti hari, keberadaan
nasib yang kini terlihat sebagai anak anak jalanan dengan potret kelam di masa
lalunya dan kini harus berlapang dada menerima bahwa dia tidak memiliki siapa
siapa lagi. Hidup sebatang kara sejak kepergian kakak dan ayah tercinta. Nasib
terus berjalan mengikuti kemana pun kaki melangkah. Mengikuti segerombolan anak
anak yang mengamen di persimpangan lampu merah dengan dengan pengawasan preman
yang berkuasa disekitar daerah situ. Nasib hanya manggut-manggut dan beraksi
sesuai instruksi yang didapatnya, hal ini tak lain dan tak bukan hanyalah
sekedar untuk mendapatkan makan yang sudah dijanjikan preman itu. Meskipun
sering kali nasib menerima perlakuan keji si preman, karena tidak berhasil
mengumpulkan pundi-pundi rupiah seperti maunya. Nasib hanya bisa berlapang
dada, dengan harapan kelak dia bisa lari dari realita hidup di Ibukota.
Nasib kini merangkai hari bersama mereka yang hidup dalam
balutan kerasnya hidup dijalanan. Satu waktu mereka saling memangsa, tetapi tak
jarang mereka menampakkann kesetiakawanan yang mengharukan. Pagi ini, sudah dua
tahun nasib menjalani hidup sebagai pengamen jalanan dengan dua teman
sejawatnya. Dalam perjalan seorang teman nasib, surip namanya terus berceloteh
tentang kerinduan pada ibunya di kampung. Nasib diam dan memilih menjadi
pendengar yang baik. Nasib tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang
ibu, karena dia sendiri belum pernah tersentuh kasih yang paling agung di dunia
itu. Setiap kali dia memejamkan mata dan membayangkan ibu, wajah denoklah yang
selalu muncul.
Mata nasib nanar menyapu sekitar. Celoteh dan canda orang
yang berpapasan dengannya tak mampu menyemarakkan hati. Membuang pandangan ke segenap
sudut cakrawala, berharap disana ada jawaban atas kegundahan hatinya. Itu pun
tiada guna, semua hampa dan kosong. Nasib yang sudah begitu jauh bekelana
meninggalkan kumpulan teman-teman jalanan dan preman yang menjadi tempat dia
menopang hidup. Seharian nasib menyusuri jalan, berharap menemukan tempat
singgah. Namun sampai malam menyelimuti ibukota, pencariannya tak juga
berujung. Lelah dan kantuk mulai menyergap ketika jalanan yang dilaluinya tak
terang lagi. Tubuh nasib dihempaskan begitu saja pada emper lapak disudut pasar
yang paling gelap.
Selubung malam mulai tersingkap. Pekat malam perlahan
meremang. Seorang bocah melangkah keluar. Dia terkejut melihat nasib telah
merebut singgasananya. Nasib menggeliat dan membuka mata, betapa terkejutnya dia
melihat ada bocah sebayanya memperhatikan nya.
Ternyata bocah lelaki itu adalah Basyir, penghuni lapak yang dijadikan
nasib tempat peristirahatan. Selang beberapa saat setelah berkenalan, basyir
dipanggil ibunya. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan mengajak nasib dan
juga memperkenalkan nasib kepada ibu basyir. Nasib dan basyir akhirnya akrab,
nasib terkadang membantu ibunya basyir berjualan. Seiring berjalannya waktu tak
disangka kini nasib tinggal bersama basyir dan ibunya. Mereka menjalani hidup yang
menyenangkan meskipun sederhana.
Setelah cukup lama bersahabat, suatu hari basyir mengajak
nasib kesebuah tempat. Di tempat itu basyir memperagakan bak seorang komando
upacara bendera, melakukan semua tugas. Mulai dari gerak jalan, bernyanyi,
membaca pancasila dsb. Nasib sudah cukup lama mengikuti upacara tekun yang
dilakukan basyir dan nasib merasa lelah. Kini dia hanya bisa melihat basyir
yang terus melakukan upacara berkali-kali dan tersentak dibenaknya bahwa itulah
alasan basyir senang sekali melihat bendera sembari memberikan hormat. Namun
sekarang sudah malam, tetapi basyir tetap bersemangat melakukan upacara bendera
sementara nasib sudah terkapar dikehingan malam dan meniggalkan basyir.
Setelah fajar terbit, baru nasib terbangun dan tersentak
untuk melihat keberadaan basyir. Namun basyir tak ada lagi disana, nasib
mencari kesana kemari tak kunjung bersua. Sampai nasib teringat apa terakhir
kali yang dilakukan sahabat barunya itu. Dia sebuah lapangan, menjulangan tiang
yang menggantung sebuah tali. Sungguh kejadian yang sangat tak diharapkan
nasib, basyir tergantung di tali pada tiang bendera yang sejak kemarin menjadi
mainan nya. Ibu basyir yang saat itu juga membantu nasib mencari anaknya,
berteriak histeris mengehatui putranya gantung diri. Kini nasib beranjak dari
lapak meninggalkan basyir dan sejuta kebaikan yang melakat padanya, yang
mengajarkan nasib shalat dan mengenal huruf. Basyir kini menjadi salah satu
perhiasan jalan kenangannya. Basyir memang telah pergi untuk selamanya, tapi
semangatnya kini mengalir bersama darah nasib yang bergemuruh.
***
Siang belum lagi berlalu, tetapi gumpalan awan hitam
dilangit bergerak cepat merampas terang. Nasib berjalan pelan sambil bersiul
riang menghampiri pedagang gorengan disudur terminal. Sambil mengunyah pisang
goreng, nasib duduk disamping lelaki setengah baya. Kelembutan tutur sapa dan
pancaran kasih sayang dari sinar mata lelaki itu mampu meluluhkan hati nasib
tanpa menaruh curiga sedikit pun, lalu dia setuju dengan ajakan pria paruh baya
itu untuk kerumahnya.
Sesampainya dirumah, nasib melihat banyak anak anak
sabayanya sedang bercengkrama. Melihat kepulang sosok pria itu, anak anak
langsung berteriak “Babeee” nasib hanya bisa mengamati apa yang terjadi. Babe
yang melihat nasib temangu, memboyong nya ke kamar mandi dan menyuruhnya
membersihkan badan. Beberapa hari dirumah itu nasib merasakan kehatangan yang
dulu dirasakannya bersama denok. Babe terlihat sangat mengasihi anak anak yang
ada dirumahnya itu, sampai-sampai selalu mengajak bocah-bocah dirumah itu jalan
jalan secara bergiliran. Cukup lama berada dirumah itu, nasib merasakan ada hal
aneh, anak yang dibawa babe jalan jalan tak diajaknya pulang kerumah itu
kembali, dengan alasan mereka pulang kekampungnya. Hingga pada suatu hari nasib
mendengar kabar pembunuhan dan mutilasi anak. Betapa kagetnya dia, ketika
korban mutilasi itu adalah anak anak yang ada dirumah yang dia tempati, dan
yang membuat hatinya meringis pelakunya adalah babe. Orang yang selama ini
dianggap berhati mulia, ternyata menyimpan bangkai dihati dan otaknya. Tak ada
kata yang mampu mewakilkan perasaan nasib kala itu. Kali ini dia harus berlari
menjauh meninggalkan cerita pahit yang tak ada habisnya menerpanya.
Sorot matanya sayu menatap jalanan. Ribuan kendaraan
merayapi setiap jengkal aspal. Deru dan debu berbaur menyesakkan dada. Dia
duduk diatas rerumputan bersandar pagar pembatas jalur rel kereta. Angannya
menerawang jauh ke angkasa, terbang
bersama sekumpulan awan dan mengembara jauh meninggalkan ruwetnya hidup dimuka
bumi. Nasib tersentak menyadari kesendiriannya, disaat itu dia berfikir bahwa
setiap orang yang dia temui dan membantunya selalu dalam kesusahan dan tidak
sedikit yang meninggal dipelupuk matanya. Seperti mbak denok, basyir, rio, arif
dan kepada orang orang yang menjadi beban sejak kedatangannya dikehidupan
mereka. Kini nasib menganggap dirinya sebagai pembawa sial kepada orang lain.
Untuk itu kini dia tidak mau lagi mendekati seseorang. Dia menjalani hidupnya
sesuai kemana arah jalan menuju.
Langkah kaki menuntun nasib ke stasiun, dia berjalan
mengikuti trotoar. Langkahnya berhenti didepan sebuah taman. Taman tersebut
adalah taman Soekarno Hatta. Dia melihat dari luar pagar, karena penjaga tidak
memeberikannya masuk. Cukup lama nasib memperhatikan patung itu dengan seksama
dalam segala tanya dihatinya namun tak dapat disuarakan. Malam terus merayap,
titik hujan turun kebumi. Nasib terus berjalan di kedinginan malam yang menusuk
tulang dengan pakaian apa adanya. Diperjalanan ia merasa ada yang mengikuti,
nasib mempercapat langkah kakinya. Semakin cepat nasib mengayunkan langkah
terasa semakin dekat orang yang mengikuti nya dari belakang itu, tubuhnya kini
merinding bercampur ketakutan. Seorang laki laki datang menyembul dan langsung
membekap mulut nasib dengan sarung tangan yang dikasi bius. Sesekali nasib
membrontak dengan kuat untuk melepaskan cengkraman, tetapi setiap kali meronta
semakin kuat bau membekapnya hingga tak lama kemudian nasib hilang kesadaran.
3 orang berpakaian putih membaringkan badan nasib di
meja, dentingan pisau bedah terdengar beradu. Nasib yang sama kali tak sadarkan
diri kini telah terpisah raga dan jiwanya. Tubuhnya terlentang dengan kondisi
jantung, hati, ginjal sudah tak berada didalam, bukan hanya itu. Mereka lalu
mencungkil mata Nasib yang malang dan memasukkannya kedalam wadah mengepulkan
asap putih. Kini tubuhnya harus merelakan kehilangan organ organ yang entah
dikemanakan oleh orang itu. Raga Nasib yang telah compang camping di obrak
abrik oleh 3 orang yang dapat dikatakan bukan manusia itu, kini di campakkannya
begitu saja kedalam lubang yang sudah dipersiapkan, seperti sampah.
***
Kini jiwa tanpa raga itu berada disuatu tempat. Seberkas
cahaya melesat dari angkasa lalu hinggap di sisi Nasib yang masih menangis
tersedu. Bersama cahaya itu muncul kereta kencana yang ditarik empat kuda
putih. Tiba-tiba dalam kereta kencana itu terdengar suara yang sangat dia
kenali, mbak denok. Betapa bahagianya nasib mengetahui bahwa yang memanggilnya
itu adalah denok. Namun denok tidak lah sendiri, dia bersama wanita yang sama
sekali tak pernah dia jumpai. Sangat asing baginya melihat wanita itu, nasib
langsung menanyakan siapa wanita yang bersama mereka. Namun denok hanya tersenyum
tanpa memberitahui siapa dia.
Kereta kencana itu membawa mereka kesebuah istanan nan
megah. Kedatangan nasib disambut hangat dan sangat ditunggukan. Seorang lelaki
tua yang sebut saja beliau adalah buya, menyambari nasib dan menjelaskan apa
masalah yang terjadi pada nasib dan tak lepas pula dia membicarakan negeri
Indonesia. Dia membawa nasib jalan-jalan mengelilingi istana, pada saat itu
denok dan wanita asing juga mengikuti mereka dibelakang. Nasib yang masih
kebingunan dengan kehadiran wanita itu, menanyakan ke buya. Namun buya ini
malah membuat pernyataan yang semakin membingungkan nasib tanpa memberikan
jawaban yang tepat.
Ketika mereka jalan jalan, seketika itu pula mereka turun
kebumi saat nasib menuruti perintah buya itu untuk menutup mata. Mereka
menjelajahi kehidupan di Indonesia ini bak seorang malaikat, dengan kedipan
mata mereka berada dalam peristiwa tersebut. Seperti kehidupan yang pernah
nasib lewati, mereka menjelajahi dari kehidupan kelas bawah hingga kelas atas.
Begitu juga dengan sistem pemerintahan yang menyelubungi kehidupan masyarakat
di Indonesia. Ketidakadilan dan dan kebiadapan para petinggi negara yang
menggunakan kekuasaannya untuk kepuasan nafsu belaka tanpa memikirkan hak
masyarakat dan kewajibannya sebagai kaki tangan penyelenggara demi masyarakat
yang makmur dan sejahtera. Berbagai cerita kehidupan sudah ditapaki nasib yang
semakin haus akan hal yang tidak diketahui semasa hidupnya di bumi.
Tabiat para koruptor yang memakan uang rakyat , para
penguasa hukum yang bisa disogok dengan uang, oknum polisi yang memanipulasi
kebenaran dan masih begitu banyak kejadian kejadian getir yang menarik
perhatian. Begitu panjang perjalanan De javu mereka melirik cerita apa apa yang
terjadi di Indonesia, nasib sangat ingin menapar keras para penjahat bangsa itu
agar mereka terbangun dari buaian setan.
***
Potret kehidupan yang kini dapat dilihatnya dialam lain,
menggambarkan kemana rasa kemanusiaan ketika tangan kecil putra-putri ibu
pertiwi mengais sampah mencari makan di negri surgawi, kemana perhatian kasih
sayang ketika ribuan anak kecil bertebaran di tengah kerasnya rimba jalanan.
Inilah wujud negeri impian para pendiri bangsa yang rela menebusnya dengan
nyawa, keringat, darah dan air mata. Begitu pilu, namun itulah ironi. Indonesia
yang kini tertafsir, tak mampu lagi digapai nasib untuk memperbaiki sedikit hal
yang mungkin berarti bagi kehidupan orang lain.
Dialam sana, nasib hanya bisa menjadi penonton di negeri
yang pernah di tapakinya. Dirinya kini berada dialam yang jauh dari hiruk pikuk
kesibukan manusia. Cukup lama dia berada di istana yang sampai sekarang belum
dia ketahui namanya, dan alasan apa yang membuatnya terdampar di negri berawan
itu. Nasib dikejutkan dengan kehadiran buya yang sudah membangunkannya dari
lamunan. Buya mendekati nasib, lalu mengatakan “bukan engkau ingin kupertemukan
dengan ibumu? Mari ku pertemukan engkau dengan ibumu” . mereka melesat bak
sambaran kilat. Dalam sekejap, mereka tiba dipintu gerbang Istana Penantian.
Nasib menyapu sekitar dengan pandangan antusias. Disaat nasib memalingkan
wajah, terkejutnya bukan main. Tiba-tiba saja mbak denok sudah berdiri
dibelakangnya dengan seorang wanita tertunduk lesu.
Wanita lusuh yang tak lain adalah Asih, ibu Nasib yang
tak mampu mengangkat wajahnya. Air matanya terus berlinang, isak tangis terus
mengiringi disetiap dengus napasnya. Nasib masih tak percaya dengan apa yang
terjadi. Dendam kesumat telah membutakan mata hati Asih, hingga tega
menelantarkan dan menimpakan semua dendam itu pada Nasib. Ditatapnya wajah Asih
yang semakin layu, dari lubuk hatinya muncul iba. Asih menantikan kata maaf
dari nasib. Nasib menarik napas panjang dan memaafkan ibunya. Dengan satu
permintaannya “Ibu aku maafkan, satu pintaku. Jangan ikuti aku lagi, hiduplah
dengan damai di alammu ibu”.
Nasib tunduk tanpa sepatah kata. Asih mendekat perlahan.
Langkahnya ragu, namun tatapannya tajam menusuk ulu hati nasib. Disetiap
rangkaian langkah kakinya, tubuh asih meleleh, seperti es mencair diterpa sinar
mentari. Akhirnya jiwa itu menguap ke angkasa saat tangannya menyentuh tubuh
nasib. Segudang tanda tanya yang menyesakkan dadanya kini lepas, begitu plong
tanpa beban lagi. Memandang tingginya angkasa, nasib merangkai ayunan langkah
kaki. Hidup entah sampai kapan dan berkahir dimana hingga dia benar benar
hilang dari hidup semu menjelang diangkatnya dia ke hadapan yang Maha Kuasa.
***
Kini hanya tinggal Indonesia dengan berjuta cerita. Saat
mata dan telinga dijejali kabar miris tentang coreng morengnya wajah negeriku
dalam menampakkan ketidakpedulian penguasa pada nasib anak-anak ibu pertiwi.
Kini negeriku menjadi kuburan massal mimpi-mimpi para penerus bangsa.