Selasa, 16 Februari 2016

Resensi

Anakku Dipotret Malaikat


Bangsa Indonesia memiliki kekayaan alam yang berlimpah, beraneka ragam budaya dan bahasa. Untuk menjaga dan melestarikannya kita perlu generasi penerus bangsa. Penerus bangsa yang sudah tertanamkan akhlak dan moral yang baik. Namun sekarang, penanaman nilai-nilai akhlak dan moral sudah tidak dianggap penting oleh beberapa kalangan masyarakat karena teknologi semakin maju. Bahkan orang tua yang seharusnya memberikan pendidikan dan kasih sayang, malah mengajarkan anak untuk melakukan perbuatan tidak terpuji. Hal ini terbukti dengan banyaknya anak-anak dijalanan.      
Kehadirannya sungguh tidak ada yang menginginkan, hidupnya berada pada topangan jalanan, mimpiya tak terlihat karena ditutupi oleh kesombongan dan ketamakan, matinya pun hanya untuk melawan kerasnya kehidupan.

Kisahnya diawali sebelum ia lahir, yaitu seorang wanita bernama Asih yang terus berjalan membawa beban berat yang dikandungnya selama sembilan bulan, di malam hari dengan wajah yang terus tersapu oleh derusan air hujan. Jabang bayi itu terus mendesaknya untuk membelah gerbang dunia fana. Jalannya terhenti tepat di depan sebuah rumah kosong. Kemudian ia memasuki rumah kosong yang tidak ada penghuninya itu. Setelah masuk, dia dikejutkan oleh sesosok wanita misterius yang ada disitu. Rintihan pedih yang dirasakannya saat bertarung megeluarkan aib dalam rahimnya. Suara wanita tertawa di kegelapan malam tidak lagi menakutkannya karena yang paling ia takutkan sekarang adalah hidup. Hanya saja ia keinginan untuk mati tertunda, sebelum anak di dalam kandungannya keluar. Ketika bayi itu keluar dan menangis, tanpa melihat muka bayinya ia langsung mendekap mulut bayi itu. Lalu, ia menemukan daun untuk membungkus anaknya yang masih berlumuran darah. Tidak ada rasa kasih sayang, hanya perasaan dendam yang meliputi asih pada sang bayi, ia melemparkannya ke dalam tong sampah. Perasaan lega menyeruak ke dalam hati Asih ketika ia berjalan menjauhi rumah kosong itu. Asih bukan bercerita tentang seorang naluri ibu tetapi dendam yang ia simpan kepada lelaki durjana yang membuatnya seperti itu.
            Tapi apalah daya hidup pun tak lagi dibutuhkannya. Ingin rasanya untuk kembali  kekeluarganya kala ia teringat bapak, ibu dan saudara-saudaranya. Sejak saat itu asih menggelandang di Jakarta, hidup dari menengadahkan tangan pada siapa saja yang menaruh iba kepadanya. Tak lama, dia hanya ingin mengabiskan sembilan bulan saja. Berjalan tanpa arah dan tujuan dan dihari berikutnya riwayat hidup Asih ditutup dengan ditemukannya seorang wanita yang terjun dari lantai tiga ITC Mall Mangga Dua.
***
Ketika sinar matahari mulai menapaki langit Supriono terbangun dari tidurnya, seorang pemulung yang memiliki anak gadis yang kerap disapa Denok. Istrinya sudah meninggalkan mereka. Pada suati hari mereka berjalan statis dengan grobak usang yang selalu ia bawa kesana kemari. Disudut gerobak itu dijadikan tempat untuk denok beristirahat ketika kelelahan berjalan, dan yang tempat lainnya dijadikan sebagai tumpukan sampah yang mereka ambil setiap hari setiap waktu untuk bertahan hidup. Ketika menyisiri jalan untuk mencari barang barang bekas, saat denok mengais ngais sampah, betapa terkejutnya ia ketika di tumpukan sampah itu ada bungkusan dari daun yang digerumuti oleh lalat. Alhasil ketika ia membuka bungkusan itu ia mendapatkan seorang bayi mungil yang berlumuran darah yang tidak ada mengetahui nasibnya.
Spontan denok langsung memberitahu ayahnya dengan apa yang ditemukannya. Supriono terkejut dan langsung melihat sekeliling, lalu ia tidak membolehkan denok untuk membawa apalagi merawat bayi tersebut. Namun dengan bujukan anaknya akhirnya luluh lah hati Supriono dan memperbolehkan denok untuk mengasuh sang bayi. Setelah memandikan dan membersihkan bayi mungil itu, denok bertanya tanya nama apa yang cocok untuk disematkan kepada bayi ini. Dengan kesepakatan sang ayah akhirnya denok menemukan nama yang sekiranya pas disandingkan, nama itu adalah “Nasib”. Kini kesendirian yang dilalui denok terisi oleh kehadiran nasib.
Hari demi hari mereka terus berjalan dan selalu menyambut apa saja yang akan terjadi kepada mereka. Kehidupan yang mereka jalani tidak berubah, tetap menjadi pemulung, mencari sampah yang dapat dijadikan pundi-pundi rupiah untuk dapat mengisi perut yang lapar dan menambah kekuatan untuk terus berjalan demi hari ke hari. Betapa kasihannya melihat orang yang memakan nasi bekas, bahkan sudah kotor terkena pasir dan tanah. Jauh dari kata sehat, yang terfikirkan hanyalah bagaimana cara untuk mengisi kekosongan perut dan mengisi tenaga.
Selama 4 tahun denok dan ayahnya merawat dan mengasuh nasib. Makanan denok yang seharusnya untuk dia seorang, sekarang dibagi dua dengan nasib. Walaupun begitu denok tetap bahagia, ada teman bermain baginya. Begitu pula supriono yang tersenyum haru melihat anaknya bahagia meskipun dengan keadaan seperti itu. Berjalan dengan menopang beban gerobak yang lebih berat dari sebelumnya, hujan pun turun dan mereka berteduh di halaman sebuah rumah makan. Kini pun hari mulai senja, malam ini mereka tidur dan menginap didepan rumah makan itu. Sungguh kedamaian yang mereka rasakan seakan hilang, namun kedamaian itu berhak memihak kepada siapa pun. Karena tak ada yang menjamin nyaman dan nyenyak nya tidur di sebuah hotel berbintang.
Matahari mulai terbit, si pemilik rumah makan terasa terusik kala kehadiran mereka yang bau dan menyengat. Supriono yang terbuai oleh mimpi indah menjadi sasaran sebuah ember berisikan air. Belum siap supriono mengerti dengan apa yang terjadi, satu ember lagi diguyurkan kedalam gerobak. Kepala kedua bocah kecil itu menyembul dari sela-sela terpal usang yang koyak terkena terjangan air yang cukup kuat. Tubuh mereka menggigil tatkala matahari belum naik begitu tinggi, tetapi bentakan dan cacian dari lelaki tambun pemilik rumah itu seakan sebagai pedang yang menusuk tubuh mereka hingga tembus belakang. Supriono masih termangu sambil memeras sarung yang masih basah kuyup. Sedangkan denok dan nasib berpelukan untuk menghangatkan diri satu sama lain.
Tanpa memikirkan cacian berikutnya, supriono langsung menarik gerbobaknya menjauh dari si pemilik rumah makan itu. Kedua bocah kecil yang ada didalam gerobak, terombang-ambing dan terkadang terantuk oleh lantai gerobak. Setelah terasa jauh, supriono berhenti dan berjalan sembari melihat anaknya yang ada didalam gerobak. Didalam gerobak, denok mengambil baju bekas hasil memulung dan menggantikan baju nasib yang juga basah.
Nasib terus memandang kakaknya itu, dia merasa heran, belum pernah ia melihat wajah kakaknya yang pucat dan lesu. Biasanya ia melihat wajah denok dengan kegembiraan. Nasib curiga dengan kakaknya, kecurigaan tersebut juga dirasakan oleh supriono. Dia melihat dan mencek  badan denok, supriono panik kiranya denok demam dan muntaber. Supriono mencari tempat penyembuhan yang bagus untuk anaknya. Ingatan supriono tertuju ke apotek yang buka 24 jam. Setibanya di apotek, supriono membeli obat untuk demam denok, namun uang yang ia miliki tak cukup untuk menebus obat yang direkomendasikan si apoteker. Tak lama setelah itu, apoteker menawarkan obat demam yang seharga dengan uang yang dimiliki supriono. Alhasil supriono langsung meminumkan obat tersebut kepada denok, supriono berharap anaknya itu sembuh. Namun nasib hanya dapat melihat raksi ayahnya terhadap denok dan tidak dapat meresapi apa yang terjadi.
Terang fajar perlahan sudah menampakkan diri ke dunia yang fana. Denok terus berjuang melawan suhu badan yang tak kunjung turun. Supriono juga bersusah payah mencari tempat biasanya ia menjual hasil mulungnya. Sesampainya disuatu tempat, seorang lelaki langsung menimbang hasil yang didapatkan supriono untuk pagi itu, sembari setelah itu sang juragan pun memberikan uang yang setara dengan barang-barang yang dibawakan kepadanya. Namun uang yang diberikan tersebut, tidaklah cukup untuk dibelikan 3 bungkus nasi. Tapi apalah daya, supriono hanya membeli 2 bungkus nasi untuk denok dan nasib. Anak mana yang tega melihat ayahnya hanya dapat menelan air liur ketika ia makan dengan lahapnya, lalu denok memberikan lebih nasi yang sengaja tak ia habiskan supaya ayahnya dapat juga mengisi perut, sontak supriono langsung menyantap makanan tersebut. Setelah terasa tenaganya mulai terisi, supriono langsung bergerak untuk kembali mencari apa saja yang dapat ia uangkan dari tong sampah.
Keluarga kecil tak lengkap itu terus berjalan menapaki waktu. Hari berganti hari dan bulan merangkai tahun. Kemiskinan tetap menjadi sahabat setia. Malam kedinginan, siang terpanggang matahari, dan ketika hujan tiba, mereka sibuk mencari naungan dari gempuran hujan. Supriono menghentikan ayunan langkah dan menyingkapkan terpal tertutup gerobak. Ditatapnya mata denok yang sayu menahan perih. Supriono bergumam didalam hatinya “apa yang dapat kulakukan untuk menyelamatkan kalian?” kini dia benar-benar berharap tubuh denok dapat mengalahkan penyakit yang menyerangnya. Denok yang semakin lemah dan tak mampu membuka mata, tebujur lemas tak dapat menggerakkan kaki dan tangannya, betapa sedih hati supriono melihat keadaan putri kesayangannya itu. Tengah supriono melamun, suara denok yang terdengar lirih berbisik kepadanya menyampaikan beberapa kata-kata terakhir. Perlahan-lahan suara denok melemah dan menghilang lalu tangannya jatuh terkulai. Sukmanya dipanggil kepangkuan Sang Maha Perkasa. Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’un... supriono sesenggukan dan semakin mengencangkan pelukannya dengan tetesan air mata pilu. Saat itu nasib tidak mengerti apa yang terjadi dengan kakaknya, dia mengira bahwa kakaknya itu tidur.
Supriono membawa anaknya ke TPU terdekat, setelah sampai disana dia menghampiri petugas TPU disitu. Lalu menanyakan berbagai hal untuk pemakaman, melihat persyaratan dan memerlukan biaya, supriono tak bisa berbuat apa apa. Jenazah denok anaknya dibawa menjauh dari TPU. Si Nasib hanya mengikuti dan merekam setiap kejadian yang dilihatnya. Supriono teringat saudaranya yang ada dikampung, yang dapat menolongnya. Dia lalu membawa mayat anaknya dengan membungkus kain yang ada didalam gerobak. Ketika dalam perjalanan, ada seorang lelaki yang mencurigai barang bawaan supriono di pundaknya, tiba-tiba saja kaki jenazah denok menyembul dari bungksan kain, sontak lelaki itu berteriak mengatakan supriono pembunuh. Orang-orang disekeliling berhamburan mendekati suara teriakan dan supriono pun dilaporkan ke polisi atas tuduhan pembunuhan yang menyerangnya. Selang kejadian itu, nasib pun tak tau kemana rimbanya, hilang dikeramaian dan tak terendus oleh supriono.
            Sejak kejadian itu supriono dan nasib terpisah, sementara supriono mendekam di jeruji besi dan jenazah denok pun sudah dikebumikan. Kali ini hanya kehidupan nasib yang terus berlanjut, dan berjalan tanpa tujuan. Hari berganti hari, keberadaan nasib yang kini terlihat sebagai anak anak jalanan dengan potret kelam di masa lalunya dan kini harus berlapang dada menerima bahwa dia tidak memiliki siapa siapa lagi. Hidup sebatang kara sejak kepergian kakak dan ayah tercinta. Nasib terus berjalan mengikuti kemana pun kaki melangkah. Mengikuti segerombolan anak anak yang mengamen di persimpangan lampu merah dengan dengan pengawasan preman yang berkuasa disekitar daerah situ. Nasib hanya manggut-manggut dan beraksi sesuai instruksi yang didapatnya, hal ini tak lain dan tak bukan hanyalah sekedar untuk mendapatkan makan yang sudah dijanjikan preman itu. Meskipun sering kali nasib menerima perlakuan keji si preman, karena tidak berhasil mengumpulkan pundi-pundi rupiah seperti maunya. Nasib hanya bisa berlapang dada, dengan harapan kelak dia bisa lari dari realita hidup di Ibukota.
            Nasib kini merangkai hari bersama mereka yang hidup dalam balutan kerasnya hidup dijalanan. Satu waktu mereka saling memangsa, tetapi tak jarang mereka menampakkann kesetiakawanan yang mengharukan. Pagi ini, sudah dua tahun nasib menjalani hidup sebagai pengamen jalanan dengan dua teman sejawatnya. Dalam perjalan seorang teman nasib, surip namanya terus berceloteh tentang kerinduan pada ibunya di kampung. Nasib diam dan memilih menjadi pendengar yang baik. Nasib tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan seorang ibu, karena dia sendiri belum pernah tersentuh kasih yang paling agung di dunia itu. Setiap kali dia memejamkan mata dan membayangkan ibu, wajah denoklah yang selalu muncul.
            Mata nasib nanar menyapu sekitar. Celoteh dan canda orang yang berpapasan dengannya tak mampu menyemarakkan hati. Membuang pandangan ke segenap sudut cakrawala, berharap disana ada jawaban atas kegundahan hatinya. Itu pun tiada guna, semua hampa dan kosong. Nasib yang sudah begitu jauh bekelana meninggalkan kumpulan teman-teman jalanan dan preman yang menjadi tempat dia menopang hidup. Seharian nasib menyusuri jalan, berharap menemukan tempat singgah. Namun sampai malam menyelimuti ibukota, pencariannya tak juga berujung. Lelah dan kantuk mulai menyergap ketika jalanan yang dilaluinya tak terang lagi. Tubuh nasib dihempaskan begitu saja pada emper lapak disudut pasar yang paling gelap.
            Selubung malam mulai tersingkap. Pekat malam perlahan meremang. Seorang bocah melangkah keluar. Dia terkejut melihat nasib telah merebut singgasananya. Nasib menggeliat dan membuka mata, betapa terkejutnya dia melihat ada bocah sebayanya memperhatikan nya.  Ternyata bocah lelaki itu adalah Basyir, penghuni lapak yang dijadikan nasib tempat peristirahatan. Selang beberapa saat setelah berkenalan, basyir dipanggil ibunya. Dia bergegas menghampiri ibunya dengan mengajak nasib dan juga memperkenalkan nasib kepada ibu basyir. Nasib dan basyir akhirnya akrab, nasib terkadang membantu ibunya basyir berjualan. Seiring berjalannya waktu tak disangka kini nasib tinggal bersama basyir dan ibunya. Mereka menjalani hidup yang menyenangkan meskipun sederhana.
            Setelah cukup lama bersahabat, suatu hari basyir mengajak nasib kesebuah tempat. Di tempat itu basyir memperagakan bak seorang komando upacara bendera, melakukan semua tugas. Mulai dari gerak jalan, bernyanyi, membaca pancasila dsb. Nasib sudah cukup lama mengikuti upacara tekun yang dilakukan basyir dan nasib merasa lelah. Kini dia hanya bisa melihat basyir yang terus melakukan upacara berkali-kali dan tersentak dibenaknya bahwa itulah alasan basyir senang sekali melihat bendera sembari memberikan hormat. Namun sekarang sudah malam, tetapi basyir tetap bersemangat melakukan upacara bendera sementara nasib sudah terkapar dikehingan malam dan meniggalkan basyir.
            Setelah fajar terbit, baru nasib terbangun dan tersentak untuk melihat keberadaan basyir. Namun basyir tak ada lagi disana, nasib mencari kesana kemari tak kunjung bersua. Sampai nasib teringat apa terakhir kali yang dilakukan sahabat barunya itu. Dia sebuah lapangan, menjulangan tiang yang menggantung sebuah tali. Sungguh kejadian yang sangat tak diharapkan nasib, basyir tergantung di tali pada tiang bendera yang sejak kemarin menjadi mainan nya. Ibu basyir yang saat itu juga membantu nasib mencari anaknya, berteriak histeris mengehatui putranya gantung diri. Kini nasib beranjak dari lapak meninggalkan basyir dan sejuta kebaikan yang melakat padanya, yang mengajarkan nasib shalat dan mengenal huruf. Basyir kini menjadi salah satu perhiasan jalan kenangannya. Basyir memang telah pergi untuk selamanya, tapi semangatnya kini mengalir bersama darah nasib yang bergemuruh.
                                                                        ***
            Siang belum lagi berlalu, tetapi gumpalan awan hitam dilangit bergerak cepat merampas terang. Nasib berjalan pelan sambil bersiul riang menghampiri pedagang gorengan disudur terminal. Sambil mengunyah pisang goreng, nasib duduk disamping lelaki setengah baya. Kelembutan tutur sapa dan pancaran kasih sayang dari sinar mata lelaki itu mampu meluluhkan hati nasib tanpa menaruh curiga sedikit pun, lalu dia setuju dengan ajakan pria paruh baya itu untuk kerumahnya.
            Sesampainya dirumah, nasib melihat banyak anak anak sabayanya sedang bercengkrama. Melihat kepulang sosok pria itu, anak anak langsung berteriak “Babeee” nasib hanya bisa mengamati apa yang terjadi. Babe yang melihat nasib temangu, memboyong nya ke kamar mandi dan menyuruhnya membersihkan badan. Beberapa hari dirumah itu nasib merasakan kehatangan yang dulu dirasakannya bersama denok. Babe terlihat sangat mengasihi anak anak yang ada dirumahnya itu, sampai-sampai selalu mengajak bocah-bocah dirumah itu jalan jalan secara bergiliran. Cukup lama berada dirumah itu, nasib merasakan ada hal aneh, anak yang dibawa babe jalan jalan tak diajaknya pulang kerumah itu kembali, dengan alasan mereka pulang kekampungnya. Hingga pada suatu hari nasib mendengar kabar pembunuhan dan mutilasi anak. Betapa kagetnya dia, ketika korban mutilasi itu adalah anak anak yang ada dirumah yang dia tempati, dan yang membuat hatinya meringis pelakunya adalah babe. Orang yang selama ini dianggap berhati mulia, ternyata menyimpan bangkai dihati dan otaknya. Tak ada kata yang mampu mewakilkan perasaan nasib kala itu. Kali ini dia harus berlari menjauh meninggalkan cerita pahit yang tak ada habisnya menerpanya.
            Sorot matanya sayu menatap jalanan. Ribuan kendaraan merayapi setiap jengkal aspal. Deru dan debu berbaur menyesakkan dada. Dia duduk diatas rerumputan bersandar pagar pembatas jalur rel kereta. Angannya menerawang  jauh ke angkasa, terbang bersama sekumpulan awan dan mengembara jauh meninggalkan ruwetnya hidup dimuka bumi. Nasib tersentak menyadari kesendiriannya, disaat itu dia berfikir bahwa setiap orang yang dia temui dan membantunya selalu dalam kesusahan dan tidak sedikit yang meninggal dipelupuk matanya. Seperti mbak denok, basyir, rio, arif dan kepada orang orang yang menjadi beban sejak kedatangannya dikehidupan mereka. Kini nasib menganggap dirinya sebagai pembawa sial kepada orang lain. Untuk itu kini dia tidak mau lagi mendekati seseorang. Dia menjalani hidupnya sesuai kemana arah jalan menuju.
            Langkah kaki menuntun nasib ke stasiun, dia berjalan mengikuti trotoar. Langkahnya berhenti didepan sebuah taman. Taman tersebut adalah taman Soekarno Hatta. Dia melihat dari luar pagar, karena penjaga tidak memeberikannya masuk. Cukup lama nasib memperhatikan patung itu dengan seksama dalam segala tanya dihatinya namun tak dapat disuarakan. Malam terus merayap, titik hujan turun kebumi. Nasib terus berjalan di kedinginan malam yang menusuk tulang dengan pakaian apa adanya. Diperjalanan ia merasa ada yang mengikuti, nasib mempercapat langkah kakinya. Semakin cepat nasib mengayunkan langkah terasa semakin dekat orang yang mengikuti nya dari belakang itu, tubuhnya kini merinding bercampur ketakutan. Seorang laki laki datang menyembul dan langsung membekap mulut nasib dengan sarung tangan yang dikasi bius. Sesekali nasib membrontak dengan kuat untuk melepaskan cengkraman, tetapi setiap kali meronta semakin kuat bau membekapnya hingga tak lama kemudian nasib hilang kesadaran.
            3 orang berpakaian putih membaringkan badan nasib di meja, dentingan pisau bedah terdengar beradu. Nasib yang sama kali tak sadarkan diri kini telah terpisah raga dan jiwanya. Tubuhnya terlentang dengan kondisi jantung, hati, ginjal sudah tak berada didalam, bukan hanya itu. Mereka lalu mencungkil mata Nasib yang malang dan memasukkannya kedalam wadah mengepulkan asap putih. Kini tubuhnya harus merelakan kehilangan organ organ yang entah dikemanakan oleh orang itu. Raga Nasib yang telah compang camping di obrak abrik oleh 3 orang yang dapat dikatakan bukan manusia itu, kini di campakkannya begitu saja kedalam lubang yang sudah dipersiapkan, seperti sampah.
                                                                        ***
            Kini jiwa tanpa raga itu berada disuatu tempat. Seberkas cahaya melesat dari angkasa lalu hinggap di sisi Nasib yang masih menangis tersedu. Bersama cahaya itu muncul kereta kencana yang ditarik empat kuda putih. Tiba-tiba dalam kereta kencana itu terdengar suara yang sangat dia kenali, mbak denok. Betapa bahagianya nasib mengetahui bahwa yang memanggilnya itu adalah denok. Namun denok tidak lah sendiri, dia bersama wanita yang sama sekali tak pernah dia jumpai. Sangat asing baginya melihat wanita itu, nasib langsung menanyakan siapa wanita yang bersama mereka. Namun denok hanya tersenyum tanpa memberitahui siapa dia.
            Kereta kencana itu membawa mereka kesebuah istanan nan megah. Kedatangan nasib disambut hangat dan sangat ditunggukan. Seorang lelaki tua yang sebut saja beliau adalah buya, menyambari nasib dan menjelaskan apa masalah yang terjadi pada nasib dan tak lepas pula dia membicarakan negeri Indonesia. Dia membawa nasib jalan-jalan mengelilingi istana, pada saat itu denok dan wanita asing juga mengikuti mereka dibelakang. Nasib yang masih kebingunan dengan kehadiran wanita itu, menanyakan ke buya. Namun buya ini malah membuat pernyataan yang semakin membingungkan nasib tanpa memberikan jawaban yang tepat.
            Ketika mereka jalan jalan, seketika itu pula mereka turun kebumi saat nasib menuruti perintah buya itu untuk menutup mata. Mereka menjelajahi kehidupan di Indonesia ini bak seorang malaikat, dengan kedipan mata mereka berada dalam peristiwa tersebut. Seperti kehidupan yang pernah nasib lewati, mereka menjelajahi dari kehidupan kelas bawah hingga kelas atas. Begitu juga dengan sistem pemerintahan yang menyelubungi kehidupan masyarakat di Indonesia. Ketidakadilan dan dan kebiadapan para petinggi negara yang menggunakan kekuasaannya untuk kepuasan nafsu belaka tanpa memikirkan hak masyarakat dan kewajibannya sebagai kaki tangan penyelenggara demi masyarakat yang makmur dan sejahtera. Berbagai cerita kehidupan sudah ditapaki nasib yang semakin haus akan hal yang tidak diketahui semasa hidupnya di bumi.
            Tabiat para koruptor yang memakan uang rakyat , para penguasa hukum yang bisa disogok dengan uang, oknum polisi yang memanipulasi kebenaran dan masih begitu banyak kejadian kejadian getir yang menarik perhatian. Begitu panjang perjalanan De javu mereka melirik cerita apa apa yang terjadi di Indonesia, nasib sangat ingin menapar keras para penjahat bangsa itu agar mereka terbangun dari buaian setan.
                                                                        ***
            Potret kehidupan yang kini dapat dilihatnya dialam lain, menggambarkan kemana rasa kemanusiaan ketika tangan kecil putra-putri ibu pertiwi mengais sampah mencari makan di negri surgawi, kemana perhatian kasih sayang ketika ribuan anak kecil bertebaran di tengah kerasnya rimba jalanan. Inilah wujud negeri impian para pendiri bangsa yang rela menebusnya dengan nyawa, keringat, darah dan air mata. Begitu pilu, namun itulah ironi. Indonesia yang kini tertafsir, tak mampu lagi digapai nasib untuk memperbaiki sedikit hal yang mungkin berarti bagi kehidupan orang lain.
            Dialam sana, nasib hanya bisa menjadi penonton di negeri yang pernah di tapakinya. Dirinya kini berada dialam yang jauh dari hiruk pikuk kesibukan manusia. Cukup lama dia berada di istana yang sampai sekarang belum dia ketahui namanya, dan alasan apa yang membuatnya terdampar di negri berawan itu. Nasib dikejutkan dengan kehadiran buya yang sudah membangunkannya dari lamunan. Buya mendekati nasib, lalu mengatakan “bukan engkau ingin kupertemukan dengan ibumu? Mari ku pertemukan engkau dengan ibumu” . mereka melesat bak sambaran kilat. Dalam sekejap, mereka tiba dipintu gerbang Istana Penantian. Nasib menyapu sekitar dengan pandangan antusias. Disaat nasib memalingkan wajah, terkejutnya bukan main. Tiba-tiba saja mbak denok sudah berdiri dibelakangnya dengan seorang wanita tertunduk lesu.
            Wanita lusuh yang tak lain adalah Asih, ibu Nasib yang tak mampu mengangkat wajahnya. Air matanya terus berlinang, isak tangis terus mengiringi disetiap dengus napasnya. Nasib masih tak percaya dengan apa yang terjadi. Dendam kesumat telah membutakan mata hati Asih, hingga tega menelantarkan dan menimpakan semua dendam itu pada Nasib. Ditatapnya wajah Asih yang semakin layu, dari lubuk hatinya muncul iba. Asih menantikan kata maaf dari nasib. Nasib menarik napas panjang dan memaafkan ibunya. Dengan satu permintaannya “Ibu aku maafkan, satu pintaku. Jangan ikuti aku lagi, hiduplah dengan damai di alammu ibu”.
            Nasib tunduk tanpa sepatah kata. Asih mendekat perlahan. Langkahnya ragu, namun tatapannya tajam menusuk ulu hati nasib. Disetiap rangkaian langkah kakinya, tubuh asih meleleh, seperti es mencair diterpa sinar mentari. Akhirnya jiwa itu menguap ke angkasa saat tangannya menyentuh tubuh nasib. Segudang tanda tanya yang menyesakkan dadanya kini lepas, begitu plong tanpa beban lagi. Memandang tingginya angkasa, nasib merangkai ayunan langkah kaki. Hidup entah sampai kapan dan berkahir dimana hingga dia benar benar hilang dari hidup semu menjelang diangkatnya dia ke hadapan yang Maha Kuasa.
                                                                        ***
            Kini hanya tinggal Indonesia dengan berjuta cerita. Saat mata dan telinga dijejali kabar miris tentang coreng morengnya wajah negeriku dalam menampakkan ketidakpedulian penguasa pada nasib anak-anak ibu pertiwi. Kini negeriku menjadi kuburan massal mimpi-mimpi para penerus bangsa.


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar