Minggu, 07 Februari 2016

Niat

NIAT DAN IKHLAS

A.   Pengertian Niat
Secara bahasa, ikhlas berasal dari kata khalasa yang berarti bersih/murni. Sedangkan niat berarti al qashdu artinya maksud atau tujuan. Niat merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah.
            Niat bukan sekedar sesuatu yang melintas di dalam hati lalu hilang seketika itu juga, yang berarti tidak ada keteguhan. Al khaththaby mendefenisikan niat adalah tujuan yang terdetik di dalam hatimu dan menuntut darimu. Al Baidhawi juga mendefenisikan niat adalah dorongan hati yang dilihatnya sesuai dengan suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mengenyahkan mudharat dari sisi keadaan maupun harta.
Keberadaan niat harus disertai pembebasan dari segala keburukan, nafsu dan keduniaan, harus ikhlash karena Allah, dalam setiap amal-amal akhirat, agar amal itu diterima di sisi Allah. Sebab setiap amal sholih mempunyai dua sendi, yang tidak akan diterima di sisi Allah kecuali dengan keduanya, yaitu:
1.      Niat yang ikhlash dan benar
2.      Sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah.
I.            Pentingnya Niat yang Ikhlas (Ikhlasunniyah)
Ikhlas merupakan ruhnya amal, maka tanpa ikhlas, sebagus dan sebesar apapun amal tidak akan ada artinya disisi Allah swt.
 “Allah azza wa jalla tidak menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas dalam mencari keridho’annya semata”.(H.R. Abu Daud dan Nasai)

II.            Syarat diterimanya amal atau perbuatan:
  •      Bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya.
  •      Ikhlas dalam berniat
  •      Sesuai dengan syariat Islam (AlQur’an dan Sunnah)

III.            Penentu nilai/kualitas suatu amal.
Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrah menuju Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa berhijrah kepada dunia (harta atau kemegahan dunia) atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kea rah yang ditujunya”.(H.R. Bukhori dan Muslim).
IV.            Mendatangkan pahala dan berkah dari Allah(Q.S. 2:262; 4:145-146).

     B.   Dalil-Dalil Al Qur’an dan Hadits
“Di antara kalian ada yang mengehendaki dunia dan di antara kalian ada orang yang mengehendaki akhirat” (QS Al Imran:152)
Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (Hud 15-16). Dan firman Allah yang lain dalam QS 2:262; 4:145; 4:145-146;  Al Isra’:18-19; Asy Syra: 20).
Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrah menuju Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa berhijrah kepada dunia (harta atau kemegahan dunia) atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kea rah yang ditujunya”.(H.R. Bukhori dan Muslim).
“Ada satu pasukan perang yang hendak menyerbu Ka’bah. Tatkala mereka berada di suatu padang sahara, maka barisan yang pertama dan terakhir dibuat buta.” Aisyah berkata, “Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin barisan yang pertama dan yang terakhir dibuat buta, padahal di antara mereka ada orang-orang awam yang lemah dan juga bukan termasuk golongan mereka?”Beliau menjawab,”Barisan pertama dan yang terakhir dibuat buta, kemudian mereka dibangkitkan menurut niatnya.”(H.R. Bukhori, Muslim, dll)

     C.   Beberapa Unsur yang Membentuk Keikhlasan
1.   Orang yang mukhlis harus memperhatikan pandangan Khaliq bukan pandangan makhluk.
2.  Apa yang lahir pada diri orang yang mukhlis harus sinkron dengan batinnya, yang tampak dengan yang tersembunyi.
3.   Menganggap sama antara pujian dan celaan manusia.
4. Tidak boleh memandang ikhlasnya sehingga ia takjub kepada diri sendiri, sehingga ketakjubannya itu merusak dirinya.
5.  Melupakan tuntutan pahala amal di akhirat. Sebab orang yang mukhlis tidak merasa aman terhadap amalnya, yang bisa saja dicampuri bagian untuk dirinya. Menurut pandangan orang mukhlis, amal yang dikerjakannya itu tidak layak dimintai suatu balasan dan ia melihat pahala sebagai suatu kebaikan Allah terhadap dirinya.
6.   Takut penyusupan riya dan hawa nafsu ke dalam jiwa, sementara dia tidak menyadarinya.

D.   Cara-Cara Untuk Menumbuhkan Niat yang Ikhlas
1.  Mengetahui arti keikhlasan dan urgensinya dalam beramal.
2.  Menambah pengetahuan tentang Allah dan hari kiamat.
3.  Memperbanyak membaca/berinteraksi dengan AlQur’an, karena Al Qur’an adalah penyembuh dari segala penyakit dalam dada (QS 10:57) termasuk riya, ujub dan sum’ah.
4. Memperbanyak amal-amal rahasia, sehingga kita terbiasa untuk beramal karena Allah tanpa diketahui orang lain.
5.  Menghindari/mengurangi saling memuji.
6.  Berdo’a, dengan tujuan agar selalu diberi keikhlasan dan dijauhi dari syirik.

E.   Teladan Sejarah
1.    Dari Abu Hurairah r.a., dia berkata,
 ”Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya orang yang pertama-tama diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Dia didatangkan ke pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya,”Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu? Dia menjawab, aku berperang karena Engkau hingga aku mati syahid. Allah berfirman,engkau dusta. Tetapi engkau berperang supaya dikatakan,”dia adalah orang yang gagah berani. Dan memang begitulah yang dikatakan tentang dirimu. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca AlQur’an. Dia didatangkan ke pengadilan, lalu diperlihatkan kepadanya, nikmat-nikmatnya. Maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu? Dia menjawab, aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta aku membaca AlQur’an karena Mu. Allah berfirman, engkau dusta. Tetapi engkau mempelajari ilmu agar dikatakan, dia adalah orang yang berilmu, dan engkau membaca AlQur’an agar dikatakan, dia adalah Qori’. Dan memang begitulah yang dikatakan tentang dirimu. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup hingga dilemparkan ke neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan juga diberiNya berbagai macam harta. Lalu ia didatangkan ke pengadilan dan diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu? Dia menjawab, aku tidak meninggalkan satu jalan pun yang Engkau suka agar dinafkahkan harta, melainkan aku pun menafkahkannya karenaMu. Allah berfirman, engkau berdusta. Tetapi engkau melakukan hal itu agar dikatakan, dia seorang pemurah. Dan memang begitulah yang dikatakan tentang dirimu. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka tertelungkup hingga dilemparkan ke neraka. (H.R. Muslim, An Nasa’y, At Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
2.    “Ada seorang laki-laki berkata, malam ini aku benar-benar akan mengeluarkan shadaqah. Lalu ia keluar sambil membawa shadaqahnya, lalu memberikannya kepada seorang pencuri. Orang-orang pun membicarakan hal ini,”Malam ini engkau telah memberikan shadaqah kepada seorang pencuri”. Maka orang itu berkata,”Ya Allah, bagimu segala puji atas pencuri itu. Aku benar-benar akan mengeluarkan shadaqah lagi.”Maka dia pun keluar sambil membawa shadaqahnya, lalu memberikannya kepada seorang wanita pezina. Mereka pun membicarakannya,”Malam ini engkau telah memberikan shadaqah kepada seorang wanita pezina”. Maka orang itu berkata,”Ya Allah, bagimu segala puji atas pezina itu. Aku benar-benar akan mengeluarkan shadaqah lagi.”Maka dia pun keluar sambil membawa shadaqahnya, lalu memberikannya kepada orang yang kaya. Mereka pun membicarakannya,”Malam ini engkau telah memberikan shadaqah kepada orang yang kaya.” Maka orang itu berkata,”Ya Allah, bagimu segala puji atas pencuri, pezina dan orang yang kaya itu”. Lalu ia bermimpi, dan ada yang berkata kepadanya dalam mimpinya itu,”Tentang shadaqah yang ia berikan kepada pencuri, semoga saja ia bisa menghentikan kebiasaannya mencuri. Tentang wanita pezina, semoga saja dia menghentikan kebiasaannya berzina. Tentang orang yang kaya, semoga saja dia bisa mengambil pelajaran, lalu dia mau menafkahkan dari sebagian yang diberikan Allah kepadanya.”(H.R. Bukhori, Muslim dan An Nasa’y).


Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar