NIAT DAN IKHLAS
A. Pengertian Niat
Secara bahasa, ikhlas
berasal dari kata khalasa yang berarti bersih/murni. Sedangkan
niat berarti al qashdu artinya maksud atau tujuan. Niat
merupakan amal hati secara murni, bukan amal lidah.
Niat bukan sekedar sesuatu yang melintas di dalam hati
lalu hilang seketika itu juga, yang berarti tidak ada keteguhan. Al
khaththaby mendefenisikan niat adalah tujuan yang terdetik di
dalam hatimu dan menuntut darimu. Al Baidhawi juga
mendefenisikan niat adalah dorongan hati yang dilihatnya sesuai dengan suatu
tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mengenyahkan mudharat dari sisi
keadaan maupun harta.
Keberadaan niat harus
disertai pembebasan dari segala keburukan, nafsu dan keduniaan, harus ikhlash
karena Allah, dalam setiap amal-amal akhirat, agar amal itu diterima di sisi
Allah. Sebab setiap amal sholih mempunyai dua sendi, yang tidak akan diterima
di sisi Allah kecuali dengan keduanya, yaitu:
1. Niat yang ikhlash dan
benar
2. Sesuai dengan Al Qur’an dan Sunnah.
I.
Pentingnya Niat
yang Ikhlas (Ikhlasunniyah)
Ikhlas merupakan
ruhnya amal, maka tanpa ikhlas, sebagus dan sebesar apapun amal tidak akan ada
artinya disisi Allah swt.
“Allah azza wa jalla tidak
menerima amal kecuali apabila dilaksanakan dengan ikhlas dalam mencari keridho’annya
semata”.(H.R. Abu Daud dan Nasai)
II.
Syarat
diterimanya amal atau perbuatan:
- Bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya.
- Ikhlas dalam berniat
- Sesuai dengan syariat Islam (AlQur’an dan Sunnah)
III.
Penentu
nilai/kualitas suatu amal.
“Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada
niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa
hijrah menuju Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya.
Barangsiapa berhijrah kepada dunia (harta atau kemegahan dunia) atau karena
seorang wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu kea rah yang ditujunya”.(H.R.
Bukhori dan Muslim).
IV.
Mendatangkan pahala
dan berkah dari Allah(Q.S. 2:262;
4:145-146).
B. Dalil-Dalil
Al Qur’an dan Hadits
“Di antara kalian ada yang
mengehendaki dunia dan di antara kalian ada orang yang mengehendaki akhirat” (QS Al
Imran:152)
“Barangsiapa yang
menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (Hud 15-16). Dan
firman Allah yang lain dalam QS 2:262; 4:145; 4:145-146; Al
Isra’:18-19; Asy Syra: 20).
“Sesungguhnya
segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang
apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrah menuju Allah dan RasulNya, maka
hijrahnya itu kepada Allah dan RasulNya. Barangsiapa berhijrah kepada dunia
(harta atau kemegahan dunia) atau karena seorang wanita yang akan dinikahinya,
maka hijrahnya itu kea rah yang ditujunya”.(H.R. Bukhori dan Muslim).
“Ada satu pasukan
perang yang hendak menyerbu Ka’bah. Tatkala mereka berada di suatu padang
sahara, maka barisan yang pertama dan terakhir dibuat buta.” Aisyah berkata,
“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin barisan yang pertama dan
yang terakhir dibuat buta, padahal di antara mereka ada orang-orang awam yang
lemah dan juga bukan termasuk golongan mereka?”Beliau menjawab,”Barisan pertama
dan yang terakhir dibuat buta, kemudian mereka dibangkitkan menurut niatnya.”(H.R. Bukhori, Muslim,
dll)
C. Beberapa
Unsur yang Membentuk Keikhlasan
1. Orang yang mukhlis harus
memperhatikan pandangan Khaliq bukan pandangan makhluk.
2. Apa yang lahir pada diri
orang yang mukhlis harus sinkron dengan batinnya, yang tampak dengan yang
tersembunyi.
3. Menganggap
sama antara pujian dan celaan manusia.
4. Tidak
boleh memandang ikhlasnya sehingga ia takjub kepada diri sendiri, sehingga
ketakjubannya itu merusak dirinya.
5. Melupakan
tuntutan pahala amal di akhirat. Sebab orang yang mukhlis tidak merasa aman
terhadap amalnya, yang bisa saja dicampuri bagian untuk dirinya. Menurut
pandangan orang mukhlis, amal yang dikerjakannya itu tidak layak dimintai suatu
balasan dan ia melihat pahala sebagai suatu kebaikan Allah terhadap dirinya.
6. Takut
penyusupan riya dan hawa nafsu ke dalam jiwa, sementara dia tidak menyadarinya.
D. Cara-Cara Untuk Menumbuhkan Niat
yang Ikhlas
1. Mengetahui arti keikhlasan
dan urgensinya dalam beramal.
2. Menambah pengetahuan tentang
Allah dan hari kiamat.
3. Memperbanyak
membaca/berinteraksi dengan AlQur’an, karena Al Qur’an adalah penyembuh dari
segala penyakit dalam dada (QS 10:57) termasuk riya, ujub dan sum’ah.
4. Memperbanyak amal-amal
rahasia, sehingga kita terbiasa untuk beramal karena Allah tanpa diketahui
orang lain.
5. Menghindari/mengurangi
saling memuji.
6. Berdo’a, dengan tujuan agar
selalu diberi keikhlasan dan dijauhi dari syirik.
E. Teladan Sejarah
1. Dari Abu Hurairah r.a., dia
berkata,
”Aku pernah
mendengar Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya orang yang pertama-tama
diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid. Dia didatangkan ke
pengadilan, diperlihatkan kepadanya nikmat-nikmatnya. Maka dia pun mengakuinya.
Allah bertanya,”Apa yang engkau perbuat dengan nikmat-nikmat itu? Dia menjawab, aku berperang karena Engkau hingga aku
mati syahid. Allah berfirman,engkau dusta. Tetapi engkau berperang supaya
dikatakan,”dia adalah orang yang gagah berani. Dan memang begitulah yang
dikatakan tentang dirimu. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka
tertelungkup lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah
seseorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta membaca AlQur’an. Dia
didatangkan ke pengadilan, lalu diperlihatkan kepadanya, nikmat-nikmatnya. Maka
ia pun mengakuinya. Allah bertanya, apa yang engkau perbuat dengan
nikmat-nikmat itu? Dia menjawab, aku mempelajari ilmu dan mengajarkannya serta
aku membaca AlQur’an karena Mu. Allah berfirman, engkau dusta. Tetapi engkau
mempelajari ilmu agar dikatakan, dia adalah orang yang berilmu, dan engkau
membaca AlQur’an agar dikatakan, dia adalah Qori’. Dan memang begitulah yang
dikatakan tentang dirimu. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan muka
tertelungkup hingga dilemparkan ke neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah
orang yang diberi kelapangan oleh Allah dan juga diberiNya berbagai macam
harta. Lalu ia didatangkan ke pengadilan dan diperlihatkan kepadanya
nikmat-nikmatnya. Maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, apa yang engkau
perbuat dengan nikmat-nikmat itu? Dia menjawab, aku tidak meninggalkan satu
jalan pun yang Engkau suka agar dinafkahkan harta, melainkan aku pun
menafkahkannya karenaMu. Allah berfirman, engkau berdusta. Tetapi engkau
melakukan hal itu agar dikatakan, dia seorang pemurah. Dan memang begitulah
yang dikatakan tentang dirimu. Kemudian diperintahkan agar dia diseret dengan
muka tertelungkup hingga dilemparkan ke neraka. (H.R. Muslim, An
Nasa’y, At Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
2. “Ada seorang laki-laki berkata, malam ini aku benar-benar akan mengeluarkan
shadaqah. Lalu ia keluar sambil membawa shadaqahnya, lalu memberikannya kepada
seorang pencuri. Orang-orang pun membicarakan hal ini,”Malam ini engkau telah
memberikan shadaqah kepada seorang pencuri”. Maka orang itu berkata,”Ya Allah, bagimu
segala puji atas pencuri itu. Aku benar-benar akan mengeluarkan shadaqah
lagi.”Maka dia pun keluar sambil membawa shadaqahnya, lalu memberikannya kepada
seorang wanita pezina. Mereka pun membicarakannya,”Malam ini engkau telah
memberikan shadaqah kepada seorang wanita pezina”. Maka orang itu berkata,”Ya
Allah, bagimu segala puji atas pezina itu. Aku benar-benar akan mengeluarkan
shadaqah lagi.”Maka dia pun keluar sambil membawa shadaqahnya, lalu
memberikannya kepada orang yang kaya. Mereka pun membicarakannya,”Malam ini
engkau telah memberikan shadaqah kepada orang yang kaya.” Maka orang itu
berkata,”Ya Allah, bagimu segala puji atas pencuri, pezina dan orang yang kaya
itu”. Lalu ia bermimpi, dan ada yang berkata kepadanya dalam mimpinya
itu,”Tentang shadaqah yang ia berikan kepada pencuri, semoga saja ia bisa
menghentikan kebiasaannya mencuri. Tentang wanita pezina, semoga saja dia
menghentikan kebiasaannya berzina. Tentang orang yang kaya, semoga saja dia
bisa mengambil pelajaran, lalu dia mau menafkahkan dari sebagian yang diberikan
Allah kepadanya.”(H.R. Bukhori, Muslim dan An Nasa’y).